puisi sukur
*Lembayung Syukur di Ufuk Kehidupan*
Di pusaran waktu yang terus berlalu,
aku temukan diriku terjatuh pada lembaran keluhan.
Seperti daun yang terbang di hembus angin,
tak tahu ke mana arahnya, tak tahu di mana akhirnya.
Nikmat sehat, yang dulu seperti udara tak tersentuh,
kini terasa seperti harta yang tersimpan di dalam peti.
Waktu senggang, yang dulu dianggap remeh,
kini menjadi emas yang terpendam di dasar samudra.
Hidup itu serupa pelangi yang malu-malu,
kadang tampak indah, kadang menghilang tanpa pamit.
Namun di sela setiap kesunyian yang menggema,
aku belajar bahwa syukur adalah cahaya yang redup,
menerangi jalan meski langkahku goyah.
Ah, hati ini, segumpal daging yang penuh rahasia,
kadang ia bersorak dalam kebahagiaan,
kadang tenggelam dalam gelombang keraguan.
Rasulullah berkata, “Jika ia baik, maka baiklah segalanya,”
dan aku bertanya: Sudahkah ia baik, sudahkah ia utuh?
Syukur adalah embun yang jatuh perlahan,
mendinginkan bumi yang penat,
membisikkan harapan pada akar-akarnya yang rapuh.
Ia hadir saat keluhan terbungkam,
mengajari bahwa cukup bukan tentang memiliki segalanya,
tetapi tentang menerima apa yang telah ada.
Aku ingin menjadi seperti laut—tak pernah lelah memberi,
seperti matahari—tak pernah ragu bersinar,
dan seperti hujan—yang selalu membawa kehidupan.
Syukur, dalam setiap nafas dan detak waktu,
adalah jalan pulang bagi jiwa yang kehilangan arah.
Jika setiap hari adalah ujian, maka biarkanlah syukur jadi jawabannya.
Jika setiap langkah terasa berat, biarkanlah tawakal jadi penopangnya.
Karena hidup ini, meski penuh liku dan duri,
akan selalu memanggil kita untuk naik kelas di hadapan-Nya.
LAbdul Hadi,
ATangerang - 9 April 2025