Thanks sharing FESN

Thanks -  Karya Finita.  *** 
Sharing ilmu litrasi - KDSB | Hadi edukasi

Contact penulis :
 amyfini8@gmail.com 
+6282195883181 

 Ceklik. ... 

 Pintu ganda itu di dorong terbuka. ... Berdiri di depan pintu, adalah seorang pria berjas putih yang membawa map merah di tangan. 

 dengann senyuman kecil, dia melangkah menghampiri seorang wanita paruh baya yang duduk di satu-satunya Bbangku yang tersedia di ruangan itu. 

 "Selamat pagi Bu." Sapanya ramah. 

 "Pagi juga dokter." Jawab wanita itu dengan suaranya yang letih. ... Sudah semalaman dia duduk di sana, menunggu keajaiban untuk putranya. 

 Pria itu mengangguk mengerti. 

     Tatapannya  segera tertuju kearah ranjang rumahsakit. ... Di sana, terbaring dengan sejumblah peralatan medis, adalah seorang remaja laki-laki, yang kini sedang berusaha untuk bertahan hidup. ... Setiap tarikkan nafas yang dia ambil terasa sangat sulit baginya. 

 .. ... .. 

 Dokter Aska, spesialis luka dalam, hanyalah salahsatu dokter yang menangani kasus anak itu. 

 Sudah banyak dokter yang menangani kasus remaja itu. Namun, mereka selalu mengatakan hal yang sama, Bbahwa mustahil dia akan kembali membuka matanya lagi. 

 "Dokter?" ... Panggil  wanita itu dengan suara lirih. 

 "Ya,Bu." Dokter Aska segera mengalihkan pandangan dari pasiennya. ... Dia kini menghadap sumber suara. Menunggu Wanita itu melanjutkan pertanyaan. 

 ""Apa anda juga akan mengatakan itu? Bahwa putra s saya tidak punya harapan lagi?" Tanyanya, butiran air mata membasahi kedua pipinya. 

 Dokter Aska hanya membisu, tak tega menjawab pertanyaan itu sebab dia mungkin akan memberi jawaban yang sama. 

 Wanita paruh baya itu melanjutkan. 

 ""Coba anda lihat dia." ... Dia menunjuk putranya, sembari menggenggam tangan anaknya. "Ia masih berjuang untuk hidup, putra saya pasti akan segera membuka matanya." Wanita itu mengusap lembut rambut sang anak. 

 Tersenyum, dokter itu lalu berkata. "Jujur saja, saya tidak tau apakah ia akan mampu melewati masa kritis. Mungkin tanggapan saya sama dengan yang  lain. Tapi tidak ada yang tau,kan? Apa yang terjadi kelak." Matanya kembali mengarah ke atas ranjang rumahsakit. "Sebuah keajaiban ia masih bernafas, setelah mengalami tragedi itu. Terus lah berdoa, mungkin suatu hari ia akan terbangun dari tidur panjangnya." ... 

  ***  

 " "Kakak?" ... Panggilan itu berasal dari seorang anak perempuan berpiyama kelinci, yang sedang berdiri di anak tangga terbawah. 

 "HMM?" Gumam Rudy, sembari mengambil jaketnya dari sofa." 

 "Kak Rudy mau pergi keluar ya?" ... Tanya gadis itu melihat kakaknya. 

  "Iih ... Tahu dari mana? 

 Hais, sok tau nih bocah." Rudy menyangkal. 

 Gadis kecil itu mengerucutkan bibirnya , tanda dia kesal. 

 "Hah, kakak kang bohong. ... Kata mama, orang tukang bohong entar hidungnya jadi panjang." Dia menunjuk jaket di tangan Rudy. ... "Itu buktinya, hayo, ngaku." 

 "Ok, kakak ngaku deh." Rudy menghela nafas pasrah. 

 "Nah, lalu apa sekarang?" dia menoleh ke arah anak tangga, alisnya terangkat bertanya. 

 "Bukan kah seharusnya kau sudah berada di tempat tidur?" Tanyanya menyelidik. 

 Gadis kecil itu hanya tersenyum. 

 "Hayo, sekarang ngaku. ...  Masih aja kelayapan, kalau mama sampai tahu? Hah! Bisa berabe." 

"SHH! .. Ngomongnya jangan keras-keras dong! Bisa-bisa mama kebangun beneran." Dia melotot ke arah Kakaknya, seraya mengerucutkan bibir. 

"Dita cuman pengen nitip sama kakak doang, Dita laper, pengen makan bakso. Kan kakak mau keluar, jadi... Boleh ya Dita nitip beliin? Ucapnya dengan tatapan memohon. 

 "Hah?" 

 Please, please." 

 "Hmm." 

 "Please." 
 ... 

 Pada ahirnya Rudi hanya bisa mengangguk mengiyakan. 

 Ia tahu persis apa yang akan terjadi jika dia menolak keinginan adik bungsunya. 

 ... 

 Rudy mengulurkan tangan, hendak meminta ongkos. "Nah! Mana? Kemariin duitnya?" Ujar Rudi menunggu duit buat beli bakso. 

 Terlihat raut kebingungan Dari wajah anak perempuan berpiyama kelinci itu, sebelum pemahaman menghampirinya. 

  Gadis berpiama kelinci itu lantas menutup mulutnya dengan telapak tangan... "UPS! Jangan marahya?" ... Dita hanya tersenyum polos. .. Hihi! ... Dita kan ga punya uang, mama ga bolehin anak kecil kek Dita gini megang uang." Jarinya menunjuk dirinya. .. "Kakak lupa ya?" 

 "Jadi?" Tanya Rudi datar, tahu maksut arti kalimat itu. .. "Jadinyaaaa, kakak yang harus bayarin!" Jawap Dita riang. .. 

 ,,,, 

 "Wow! ... Aku sangaaat terkejut. ... Haha." Ruddy tertawa hambar. .. 

 Kini dia hanya dapat   mengasihani diri sendiri. ... 

 "Yeah, kalau cuman beli bakso biasa sih ga ada masalah. Nah! Ini mintanya bakso beranak! Mana banyak telurnya. .. 

 Terpaksa dengan berat hati dia harus rela menguras isi dompetnya, yang tidak seberapa itu. 

 Yah, sudah lah, orang sabar. Eh! Salah ding. Orang yang dermawan, pasti di sayang Oma deng opa, ya kan?"  

 .. *** .. 

"Ya, halo." Kata Rudi, mendekatkan ponselnya ke telinga. ... "Lo di mana sih? Ini Gue udah mondar-mandir di sini sedari tadi, udah sampe lumutan belum juga ngelihat Lo. Mana udah sepi, gelap, dingin lagi, mana serem. ... Asal Lo tahu aja nih, bulu-bulu di badan gue udah pada berdiri semua.  

Gimana kalau ada yang lihat gue di stasiun di tengah malam gini? Bisa-bisa gue di kirain arwah penunggu kereta hantu. Atau lebih buruk, gue bisa di ciduk satpol PP di tuduh ngelakuin sesuatu yang aneh-aneh. Wah! Bisa hancur masa depan gue!" Cerocos Rudi panjang kali lebar. 

Terdengar tawa geli dari ujung telfon. ... "Hoi! Ini malah ketawa, gue serius. Iih! Sekarang gue malah pengen ke kamar kecil." Keluh Rudi merana. 

Mendadak dari sudut mata, terlihat sesosok bayangan melintas, menuju ke arah ruang tunggu. Ruddy yang melihat itu mulai merasakan hawa yang tidak menyenangkan. 

Berfikir kembali, apa keputusannya menjemput sobatnya di stasiun tepat?. Menggeleng, mencoba menjernihkan kepala, Rudi meyakinkan dirinya kalau tidak ada yang namanya hantu. 

Akan tetapi, suasana suram stasiun ini tidak mendukungnya untuk menenangkan diri. Terdapat sebuah lampu di salahsatu pron, namun itu tidak cukup. Cahayanya redup berkedap-kedip,  tidak  membantunya sama sekali. 
 Masih berusaha meyakinkan diri, Ruddy di kejutkan dengan sepasang tangan yang mencengkram bahunya. Sontak tubuhnya menegang, dengan sekuat tenaga, ia mengumpulkan oksigen di paru-parunya , lalu? "Aaaaaaaaaargh!!! Mamaaaa! Ruddy pengen pulaaaang!!" Jerit Ruddy sambil memejamkan kedua matanya rapat-rapat, enggan membukanya. 

 "Muahahaha!" .. Terdengar tawa terbahak dari arah bangku belakang, dan suara itu sangat familiar. bagi Ruddy. 

Menoleh, menghadap ke belakang, Ruddy lantas bersitatap dengan seorang remaja berkacamata, ia seusia dengannya, yang masih saja terkekeh, tidak sanggup menahan tawa. 

Mendengus, Ruddy melempar tatapan tajam ke arah si remaja berkacamataitu. 

"Haha ... Lucu buangeeet." Ujarnya ketus. "Huh .. Ngumpet di mana sih? .. Ga lucu tahu." 

 Ia adalah Dafit, sobat baik Ruddy. 

 "Sorry! Habisnya Lo sih Cerewet banget, jadi berdenging kan telinga gue." Dafit beralasan. 

 "Jujur, suara Lo tuh dah kayak pake toa masjit." Jawap Dafit masih terbahak. 

 "Dah-dah ... Kita pergi dulu dari sini." Ajak Ruddy sembari membawakan ransel sobatnya. ... "Jangan ngobrol di tempat yang nyeremin kek gini. 

 "Ya, siapa juga yang mau nongkrong di sini lama-lama? Dafit mengiyakan ajakan sohipnya. Berdiri, dia lalu berjalan menyusul Ruddy yang telah jauh di depan. "Oi! Tungguin gue!!!" .. 

 Oh? Iya. Dafit? Ngomong-ngomong, kok Lo cuman bawa ransel doang? Kan waktu itu Lo bawa koper gede?" Tanya Ruddy penasaran. ... Mana "pake balik sendiri lagi, dan gue yakin 100 persen, di tas Lo ini, nggak ada oleh-ole buat gue. 

Dafit yang mendengar pertanyaan bruntun dari Ruddy hanya tersenyum kecil. 

"Okay ... Mau gue Jawap yang mana dulu nih?" Ujarnya menahan keinginan membekap mulut Ruddy, agar tidak terlalu berisik. 

"Pertama, gue cuman bawa tas ransel, karna koper itu berat. Dan ribet, gue males kalau harus nyeret-nyeret   di sepanjang jalan. 

 Kedua, nyokap dan bokap gue sedang menghadiri pemakaman keluarga, ada kerabat gue yang lagi berduka. 

Dan ketiga, walau gue ga bawa koper, Lo tenang saja. Oleh-oleh ga bakal gue lupa." 

 "Ya! Itu sih udah seharusnya !" ... Ruddy tersenyum sombong. "oleh-oleh gue itu nomer satu." 

 .. *** .. 

Keesokan harinya. 

 "Daf? Jadi gimana? .. Rencana kita buat pergi ke villa Lo itu dah ready kan ya?" Tanya Ruddy untuk yang kesekian kalinya. 

 "Dan hanya kita berdua saja? Apa sebaiknya kita ajak orang lain juga? 

Itung-itung bisa lebih rame gitu." 

 ,,, 

 "Ruddy?" 

 "Ya." 

 "Apa gue boleh nanya sesuatu nggak?" Tanya Dafit terlihat kesal. 

"Ya, silahkan." Jawap Ruddy, sembari memasukan sekotak cemilan rasa jagung ke dalam tas. "Tidak ada yang menghalangi mu bertanya. 

 Dafit menarik nafas dalam dalam, mencoba untuktidak menendang sobatnya yang cerewet. 

 "Yang ingin gue tanya kan itu Lo." Kata Dafit, menarik nafas pasrah. 

  "Loh, Kok bisa gue? Lo kan udah kenal gue luar dalem. Ngapain masih bertanya"? 

 ,,, 

 "Huh ... Udah deh, gue nggak jadi bertanya. 

 Bisa-bisa gue jadi botak gara-gara stres, karna Lo." Dafit mengacak rambutnya frustasi. "Soal orang lain yang akan ikut bareng dengan kita, Lo ga usah hawatir. ... Gue udah ajak temen, mereka ada tiga orang. Dua cewek, dan satu cowok. Percaya sama gue, mereka nyenengin." 

 .. *** .. 

"Hei guys!" ... Sapa Dafit melambaikan tangannya ke arah tiga orang yang sedang menunggu mereka berdua di depan sebuah mobil hitam yang terparrkir di halaman sebuah toko buku. 

 "Nah kenalin, ini Ruddy temen baik gue. .. Rudd? Ini Lola, yang itu namanya Fifi. Cowok bertopi ini namanya Galih." .. Selesai berkenalan, ahirnya mereka berlima pun berangkat menuju villa. 

 .. .. .. 

Sesampainya di tempat tujuan. ... Hari telah menjelang malam, kelima remaja itu menghela nafas lega. Bagaimana tidak, mereka harus duduk selama 8 jam dalam perjalanan. Sudah pasti seberapa keramnya punggung dan leher mereka. 

Belum lagi dengan jalanan yang berlubang, menambah penderitaan para penumpang mobil hitam itu. .. Semua orang mulai menurunnkan barang masing-masing, walau raga terasa lelah , namun itu tidak bisa menghilangkan senyuman dari bibir mereka. 

 .. ... .. 

Ah! Kudu di ralat. Dari kelima orang itu, hanya tiga yang masih terlihat bersemangat. Sisanya bersikap aneh. 

 Kedua orang itu yakni Lola dan Ruddy. 

Sepanjang perjalanan, Ruddy sudah merasa tidak nyaman. Seperti ada yang salah, tapi ia tidak tahu apa itu. 

Sedangkan Lola? Dia selalu memasang ekspresi datar, matanya terlihat tidak bernyawa. Itu kosong, bibirnya juga pecah dan agag kelabu. Seperti mayat. 

Ruddy berani bersumpah, ia melihat sesuatu yang ganjil dari leher Lola, dia  melihat  luka lebam membiru. 

  Itu terlihat seperti jerat tali tambang.  Namun dia tidak dapat memastikannya, sebab Lola menangkapnya sedang memperhatikan lehernya. 

 Dan akibatnya Lola terus mengawasinya. 

 .. "Nahlooo! Ngapain masih berdiri disini?" tanya Fifi, yang berhasil mengejutkannya. ... "Gue lihat-lihat, Lo terus memperhatikan Lola. 

 Apa jangan-jangan? 

 ... 

 Lo naksir ya sama dia?" 

.. Mendengar kata-kata Fifi, membuat Ruddy tersedak. .. "Ehh! Tidak mungkin, m maksut gue itu? Gue ga naksir sama dia." 

 "FIF! Jangan usil,  nanti si Dafit ngamuk." Ujar Galih, ia sudah memperhatikan ulah Fifi sedaritadi. 

"Hmph.. Lo nyebelin." Gerutu Fifi, menatap kesal Galih. 

 .. *** .. 

 Ruddy, Dafit, Lola, Galih, dan Fifi kini berada di halaman belakang vila. Merreka berlima sedang mengadakan acara bakar-bakar ayam, di sertai dengan gurauan Galih yang sama sekali tidak lucu. Sesekali saling ejek, yang berujung dengan saling timpuk sepatu. 

Suasana yang sempurna, seharusnya begitu. Namun, Ruddy tetap tidak merasa baik. Ada yang salah, dan sudah seharusnya ia tahu, apa itu. 

Tiba-tiba saja itu datang. Rasanya sakit, Ruddy memegangi pundaknya yang terasa seperti, itu akan segera terlepas dari persendiannya. 

 "Ruddy? Lo oke?" Tanya Dafit hawatir. "Apa ada yang sakit? Dimana? Biar gue lihat sini." .. "Ga usah Daf .. Ini kayaknya kebentur sesuatu, tapi gue ga sadar." .. 

 "Beneran? Lo yakin?" .. "A. Lo ga perlu panik." 

 "Gue cuman harus ngolesin salep atau semacamnya, pokoknya obat memar gitu deh." Ucap Ruddy, mencoba menenangkan sahabatnya itu. Sayangnya, gue ga bawa obatnya!. Hee hee. .. Jadi gue harus pergi beli di apotek. ... Boleh gue minjem kunci mobil Lo? 

 Bentaran doang, boleh ya? Kalau ga di kasih juga ga masalah. 

 .. *** .. 

 Di mobil .. Sudah 15 menit Ruddy berkendara, menyusuri jalanan yang masih terbilang sepi. Hanya ada beberapa kendaraan yang sesekali melintas. 

 Menengok kesana-kemari, Ruddy berusaha mencari apotek, namun sejauh ini ia hanya menemukan villa, kang tambal ban, pom bensin, dan entah apa lagi. 

Mana rasa nyeri di pundaknya semakin parah,dan  ia juga mulai kesulitan mengendalikan kemudi. Merutuki diri sendiri, Ruddy bertanya-tanya mengapa tidak mengajak Dafit untuk menemaninya, atau apa lah. Setidaknya ia tidak akan kerepotan sendiri. 

Ruddy masih berusaha mengendalikan kemudi, tangannya kini mulai sulit di gerakkan, jadi ia harus ekstra hati-hati. .. Mendadak, dari arah kiri, ia dapat melihat melalui kaca spion, sebuah truk tronton melaju dengan kecepatan tinggi. 

Raungan mesin itu membuatnya bergidik ngeri. Seolah ia hendak mengejar mu kemana pun kamu pergi. .. Mengikuti insting, Ruddy menepi di sisi jalan, agar menjauh dari kendaraan besar itu. 

Baru ingin menghela nafas lega, Ruddy seperti mendapat penglihatan. 

Dari arah berlawanan, melaju sebuah mobil hitam, kendaraan itu langsung berhadapan dengan Truk tronton di depannya. 

Dan? .. Seperti filem yang di perlambat, Ruddy menyaksikan kecelakaan itu terjadi. 

BARRKK .. PRANG. .. PIAR. .. Suara tabrakan, ledakan, dan pecahan kaca dari kendaraan yang terlibat kecelakaan mengisi suasana sepi di malam berkabut ini. 

 Setelahnya, hanya menyisakan kesunyian yang mencekam. Suara suara malam juga ikut membisu, tak ada sama sekali, bahkan tidak ada masyarakat yang datang menolong, atau hanya sekedar melihat apa yang terjadi. 

 Baginya, ini terasa salah. ..  Tersadar dari keterkejutannya, ia langsung menginjak pedal gas, memutar, kembali ke Arah villa , tidak peduli dengan rasa sakit yang semakin parah. 

Memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi, Ruddy berusaha melupakan apa yang ia lihat disana, entah mengapa, Ruddy merasa familiar dengan pemandangan itu. Samar-samar, Ruddy mencium bau anyir darah, itu sangat menyengat hidungnya. 

Perutnya serasa di aduk-aduk, susah payah ia menahan isi perutnya tetap di tempatnya. 

 "Ini salah, salah, salah." Ia terus mengulang kata-kata itu, bagaikan sebuah mantra. 

 Dari lengan kirinya, mengalir cairan yang terasa hangat di kulitnya yang dingin. Mungkin itu keringat, itu lah yang di pikirannya. ... Sebelum dia menunduk untuk mengusap cairan itu dengan lengan jaket. 

Ia terbelalak menatap lengan kirinya, itu sudah tidak terlihat seperti lengan. Dari bahu ke pergelangan tangan, nampak lah luka terbuka yang memperlihatkan tulang, aliran darah terus mengucur dari luka terbuka itu. 

Bukan itu saja, bagian tubuh di sebelah kirinya mendadak terasa sakit. Mulai dari kepala, dada, hingga kakinya. Tidak perlu menunggu , pakaian yang terpasang di tubuh Ruddy kini telah berganti warna. Merah gelap dengan aroma menyengat. 

 Terlalu terpaku dengan tubuhnya, Ruddy tidak fokus pada jalanan di depan. Ia tersentak ketika mendengar klakson kendaraan di hadapannya, mendongak, Ruddy hanya dapat menatap horor akan apa yang tengah menunggunya. 

Itu, adalah truk tronton yang baru terlibat kecelakaan, beberapa  saat yang lalu. Bagaimana bisa? Itu tidak masuk akal. 

Dan Ruddy mengingatnya. Mobil itu, mobil yang terlibat kecelakaan itu, adalah mobil yang sedang ia kendarai sekarang. Artinya Ia lah sang korban. 

  Bukan itu saja, ada yang lain, namun Ruddy tidak dapat mengingatnya. 

Ruddy berupaya menghindari tabrakan, menginjak rem, membanting stirr, namun semuanya sia-sia. 

 Menggigit bibir, Ruddy masih mempertahankan kewarasannya. "Ini tidak nyata, ini tidak nyata." Kata-kata itu terus terucap dari bibirnya. 

Mencoba lagi, Ruddy memaksa membanting kemudi, mengarahkan mobil ke bahu jalan. 

Itu berhasil, ia menjauh dari tabrakan. "Syukur lah." Dia menyeka keringat dari dahinya.  

 "Ruddy? Seseorang memanggil namanya, itu berasal dari bangku penumpang di sebelahnya. Dan itu tidak mungkin. Ruddy hanya seorang diri di dalam mobil. 

 Gigil dingin merambati tulang punggungnya, bulu bulu di tengkuknya meremang. 

 Mengatur nafasnya yang sesak, Ruddy memberanikan diri melirik ke samping. Dan? ... 

 "Da,Dafit? Ke kenapa? ... M mengapa l Lo bisa ada di sini? Tanyanya gagap. .. Dafit hanya tersenyum misterius. 

 "Gue? Selalu di sini." Dafit menjawapnya, senyuman itu masih ada, dan makin terlihat mengerikan. 

 Kulit Dafit sangat pucat, seolah dia tak mempunyai darah. ... Salahsatu lengannya tidak berbentuk. 

 "Lo, Lo bukan Dafit." Ruddy tergagap. 

 "Benarkah? Coba lihat gue." Jawap Dafit seraya menunjuk dirinya. 

 "Nggak, nggak. Lo, Lo bukan dia, dan semua ini ga nyata." .. "Mendengar penyakalan Ruddy, Dafit hanya dapat menatapnya simpati. 

 "Ingat lagi. Ini sudah pernah terjadi, dan harus terjadi lagi. ... Kita adalah korban dari kecelakaan maut ini. 

  "Tidaaaak! Lo salah. Lo pembohong." Ruddy berteriak, tatapannya menyiratkan ketakutan. ... Mendadak Dafit melompat, Lengannya yang tersisa melingkar di leher Ruddy, berniat mengalihkannya dari jalan. 

 "Lepas! Lepaskan tangan lo! Jauhi gue! ... Jerit Ruddy, menggeliat dari cengkraman Dafit. 

"Lo harus tenang."  Bisik Dafit di telinganya. .. "Ini tidak akan lama, tidak sakit." 

 Tampa Ruddy sadari, Dafit telah berhasil mengembalikan mobil itu ke jalurnya, langsung berhadapan kembali dengan truk tronton. 

Sudah terlambat bagi Ruddy memperbaiki situasi. Ia hanya dapat menatap maut yang mendekat, di iringi teriakannya yang menggema di langit malam gelap nan gulita. .. Aaaaaaaaaargh! 

 BARRKK. .. Tabrakan  Itu pun terjadi. Kedua kendaraan naas itu kini hanya menyisakan puing-puing dan rongsokan besi. . 

 Di bahu jalan. Dapat terlihat  dari balik kabut, beberapa orang di sana. ..Berdiri mengawasi kejadian yang mengerikan itu. ... 

 "Dafit?" 

 Panggil Fifi hawatir. 

 "Hmm?" 

 "Lo ok?"  

 "Ya, Gue gak apa apa  kok, hanya sedikit lelah." Kata Dafit, matanya masih memandangi sisa  dari kedua kendaraan yang baru terlibat kecelakaan beberapa menit lalu. 

 "Fif?" Panggil Dafit. 

 "Ya." 

 "Apa gue jahat?" Tanyanya. 

 "Nggak." 

 Dafit terkekeh. ... "Nggak, Fif, gue emang jahat. ... Apa yang gue lakuin selama ini itu jahat. Dengan menahannya di sisi gue, membiarkan dia mati berkali kali, membiarkannya merasakan penderitaan yang sama, itu benar benar jahat. 

 Dan sekarang? Gue harus mengahirinya dengan tangan gue sendiri." Dafit membuang muka. 

 "Ini bukan salah Lo,. Dia memang harus pergi." Galih menepuk bahunya. 

 Fifi mengangguk setuju. 

 "Relakan, dan lupakan dia." Ucap Lola, matanya menatap Dafit tajam. "Biar kan dia pergi, Lo udah lama menahannya di sisi Lo.  

 Perbuatan Lo ini sangatlah jahat, jangan egois." ... Setelah mengatakan itu, Lola melangkah pergi, dan lenyap dalam tebalnya kabut. 

 .. *** .. 

 .. 3 bulan kemudian. .. 

 Di salahsatu pemakaman desa. Terlihat seseorang sedang menatap kosong ke arah sebuah makam. ... Itu hanya lah 1 dari sekian banyaknya makam yang berada di tempat ini. ..  

 "Gue minta m maaf.  Ini salah gue. Lo sekarang berada di sini karna gue." Ucap Seorang remaja yang berada di atas kursi roda. Air matanya terus membasahi pipinya yang berbekas luka. "Gue harap, Lo tenang di sana. Titip salam sama adik gue Dita Ya! .. "Sorry kalau dia agag nyebelin." Tawa lemah terdengar dari bibirnya yang pucat. 

 "Ruddy? Apa kamu baik-baik saja?" 

 "Ya, ma! Ruddy oke. Ga ada masalah." 

 "Kalau begitu kita bisa berangkat sekarang? Udah pamit kan?" 

 "Bentar, ma, Tunggu sebentar lagi, ya." .. Sang mama hanya mengangguk mengerti. 

 "Thanks, Lo udah jadi kawan gue. Kalau boleh jujur? Gue udah nganggap Lo kakak gue. Soalnya, Lo selalu jagain gue, khawatirin gue, dan masih banyak lagi. ... Bahkan Lo masih peduli akan kebaikan gue.  Tidak peduli itu menyakitkan untuk Lo. 

 Makasih ya Dafit. Gue pamit dulu." Lirihnya. Masih tidak menyangka ini akan terjadi pada teman baiknya. ... "Ayo, ma, kita pergi dari sini." ... Ruddy mulai Beranjak dari sebuah nisan, dengan nama Dafit Angkara di permukaannya. Meninggalkan sahabatnya yang kini telah terlelap dalam tidur abadi. ... ...hadiedukasi official