Ahir Kisah FESN

Akhir Kisah.

By : Lentera Shenja.
Sharing ilmu litrasi dan sastra - KDSB | Hadi Edukasi
Contact penulis :
Melisopi8@gmail.com
082216193688

Setiap ada prolog, pasti ada epilog. Tentang kisah, Pasti kan kita temui akhirnya.

~~Lentera Shenja ~~~

Kilau bening itu kembali mengalir. Menuruni pipi, hingga jatuh keatas tangan yang bertautan dalam pangkuan.

Gadis kecilku itu menangis tanpa suara. Terduduk diatas birai jendela dengan ekspresi penuh duka.

Aku, seorang ibu yang tak berdaya, hanya menyaksikan dari balik pintu yang terbuka.

Aku  mengusap sudut mata. Tangisnya menyayat hatiku. Tatapan dukanya menghujam jantungku. Ya Rahman. Apa yang harus kuperbuat sekarang?

"Lalu siapa Ibuku?" Pertanyaannya memecah lengang.

Aku memandangi wajahnya dalam. Gadis yang sejak 25 tahun lalu aku rawat, kini menjelma perempuan yang menawan.

Aku menggeleng perlahan. Mulutku bungkam. Tak mampu mengulaskan penjelasan.

Dia beranjak berdiri. Langkahnya berderap mendekat.

"Dan, apa maksud Bunda menyembunyikan fakta sebesar ini dari aku?" tanyanya tajam.

"B—Bunda... Bunda...."

"Apa?" Dia menyela. "apa alasan yang mau Bunda bilang?"

Aku mengusap pipi. Ya Rabi. Penjelasan apa yang bisa kuberikan?

"Bunda. Apa jika aku tidak mendengarkan pembicaraan Bunda dan tante Sasa, Bunda akan tetap diam?"

Pertanyaannya kembali menamparku. Benar. Mungkin aku akan selamanya bersembunyi jika dia tak terlanjur mendengarkan semua ini.

"Segalanya ada penjelasannya, Nak," sahutku parau.

"Ya kalau gitu jelasin, Bunda! Jelasin!" tekannya.

Aku meraih tangannya lembut. Gadisku itu menepisnya kasar.

"Jika Bunda bukanlah Ibu kandungku. Sedang Almarhum Ayah adalah Ayah kandungku. Apa Bunda yang menghancurkan rumah tangga mereka?" tanyanya berdesis.

Allah. Robekan hatiku kian meluas. Retakkannya makin melebar.

Bisa saja aku memberinya penjelasan sekarang juga. Namun, aku tahu persis bagaimana wataknya. Dalam keadaan emosional, dia akan sulit menerima penjelasan yang rasional.

Dia mendongak. Mata tajam serupa mata lelakiku itu menghujam wajahku. "Aku akan pergi, Bunda. Mulai sekarang, jangan cari aku. Mulai sekarang, aku Bukan anak Bunda lagi."

Rubyku, gadis manisku itu berbalik. Melangkah menjauh. Aku berlari mengejarnya. Air mataku berderai.

Saat aku menangkap lengannya, dia berhenti. Bahunya bergetar.

"Jangan pergi, Nak. Bunda mohon."

Ruby bergeming. Wajahnya tak juga menoleh kearahku.

"Jangan tinggalin Bunda, Ru. Bunda mohon."

Ruby menarik tangannya. Dengan gerakkan cepat, dia melangkah memasuki mobil. Meninggalkanku tanpa menoleh lagi.

Aku bersimpuh dipelataran rumah. Tangisku mengeras. Apakah salahku jika aku menyayangi seseorang yang bukan darah dagingku? Salahkah aku mencintai apa yang paling suamiku cintai? Aku menyayanginya lebih dari apapun. Tidakkah dia mengingat sedikitpun kebersamaan? Kasih sayang, dan cinta yang utuh kuberikan? Meskipun, dia anak dari istri suamiku yang tak kuketahui.

* * *

Diatas sajadah yang kubentangkan, aku berulutut bersimpuh. Meratap pedih, menghiba pada sang maha pengasih. Sebulan sejak Ruby pergi dari rumah, tak lagi kudengar kabarnya, tak lagi kudengar tawanya, tak lagi kulihat senyumnya.

"Rabku. Jaga dimanapun putriku berada." Aku berkata disela tangis.

Saat ini, tak ada hal yang aku inginkan selain dapat menatap wajahnya, mendekap tubuhnya.

Aku bisa saja mencari. Namun, aku tak sanggup jika dia semakin membenciku.

Sejak suamiku membawanya kerumah ini, sejak itu pulalah aku menyayanginya selayaknya putriku sendiri. Seperti aku yang bersedia melanjutkan pernikahan ini, seperti itu juga aku menyayangi Ruby. Untuk seseorang yang tak mampu melahirkan anak, kehadiran Ruby serupa air ditengah dahaga. Apapun akan kuberikan untuknya.

Jika dia ingin mencari Ibu kandungnya, dan tak mau menemuiku lagi, tak apa. Aku ikhlas. Salahku. Seharusnya, aku mengatakan semua ini padanya. Tapi, Rabku. Jangan biarkan aku menutup mata sebelum menatap wajahnya. Aku mohon.

* * *

Aku mengejar Ruby diparkiran sebuah restoran. Ruby yang sejak tadi kupanggil, tetap melangkah. Tak hirau dengan aku sama sekali.

Saat kusentuh bahunya, Dia berhenti dan menoleh.

"Ada ap...."

Matanya berkedip. Ruby memandangiku lekat-lekat.

"Maaf. Saya permisi," ujarnya datar.

Aku menelisik wajahnya beberapa saat. Ada lingkaran hitam dibawah matanya. Tatapannya menyorot datar. "Kamu tinggal dimana, Ru?"

Ruby mengalihkan pandang kearah lain sejenak. "Bukan urusan, Bu... Anda lagi."

Ingin, ingin sekali aku memeluk tubuhnya. Namun, aku tahu. Ruby akan semakin menjauh jika aku melakukannya.

"Bunda khawatir, Ru." Aku berkata lembut.

Ruby melangkah menjauh, berbalik memunggungiku.

"Apapun yang terjadi denganku, sudah tak ada hubungannya lagi dengan Bunda."

Ruby mulai melangkah. Namun, perkataanku membuatnya berhenti.

"Bunda punya sesuatu untuk membantu pencarian Ibumu."

Ruby berbalik dengan cepat. Binar yang kurindu itu kembali hadir.

Aku mengulurkan selembar foto padanya. "Itu foto pernikahan, Almarhum Ayahmu dan Ibu kandungmu."

Ruby meraihnya dengan tangan bergetar. Matanya berkaca.

Aku mendekat, satu tanganku mengusap bahunya. "Carilah, Nak. Semoga Ibumu dapat kamu temukan." Aku mengusap kepalanya penuh sayang. "Bunda selalu sayang kamu, Ru. Cinta Bunda padamu, lebih besar dari cinta Bunda pada diri Bunda sendiri."

Setelahnya, giliranku yang berbalik. Aku tak ingin Ruby melihat air mataku.

"Ruby tak pernah membenci Bunda. Ruby juga, selalu sayang Bunda." Sejenak, aku berhenti, dan segera melangkah kembali.

* * *

Sasa meletakkan Obat diatas meja samping tempat tidurku. Satu tangannya terulur menyentuh keningku.

"Sebaiknya kita kerumah sakit, Tik. Panas kamu semakin naik." Sahabatku sejak berpuluh tahun itu menatapku cemas.

Aku menggeleng. "Tidak perlu." Aku menyahut lemah. "apa Ruby baik?" lanjutku.

Sasa mengangguk pelan. "Perlu aku kasih tahu keadaan kamu?"

"Jangan."

Suara bel yang berbunyi menyela percakapan kami. Siapakah sore-sore begini yang bertamu?

Sasa pergi sebentar. Lantas kembali dengan seorang lelaki yang mengekor dibelakangnya.

Ah. Aku mengenalnya. Itu Fatah, tunangan putriku.

Dia berlutut disampingku. Lembut, dia mencium takzim tanganku.

Dua bulan selang pertemuan terakhirku dengan Ruby. Fatah selalu menyempatkan datang menemuiku.

"Assalamualaikum, Bunda."

Aku tersenyum tipis. "Waalaikumusalam."

"Bunda ingin pergi kedokter?"

Aku tertawa pelan. "Untuk apa?"

"Sudah dua minggu Bunda begini."

"Apa Ruby sudah bertemu Ibunya?" Aku mengalihkan percakapan.

Fatah mengangguk. "Dua hari yang lalu, Bun. Sekarang dia dibandung."

Senyumku terkembang lebar. Jika begitu, Rubyku tengah berbahagia. Dan aku akan merasa senang untuk bahagianya.

"Nanti Fatah minta Ru kesini, ya?"

"Jangan." Aku menyahut berat. Aku memang ingin menatap wajahnya. Namun, kerinduanku jangan sampai menghancurkan kebahagiaannya.

"Fatah. Bunda ingin bercerita sesuatu. Maukah kamu mendengarkan?"

"Sebaiknya Bunda istirahat."

"Sebentar lagi. Bunda akan istirahat secepatnya. Dengarkan ini."

Flash back.

~~~ 25 tahun lalu.

~~~

Suamiku itu berlutut pasrah dihadapanku. Dalam buaianya, bayi cantik tengah terlelap dengan nyenyak.

"Aku pasrah, Kartika. Bila kamu ingin menyudahi hubungan kita. Tapi aku mohon, Kartika. Maafkan aku."

Aku terisak pedih. Lelaki yang amat sangat aku percayai, pria yang begitu aku cintai, mengkhianatiku selama satu tahun ini. Lantas, apa yang harus kuperbuat?

Aku menyeka air mata. Menatap bayi mungil nan menggemaskan itu dengan nanar.

"Dimana Ibunya?"

Suamiku itu mengangkat wajah. Mata lelaki yang sudah menemaniku selama tiga tahun itu terlihat memerah.

"Dia pergi, Kartika. Meninggalkan bayi ini satu minggu seusai melahirkan."

Lagi, aku menatap wajah lelap bayi itu. Aku mengulurkan tangan. "Bo—boleh aku menggendongnya?"

Suamiku mengangguk. Aku meraih bayi itu kedalam gendongan. Membuainya penuh sayang. Mungkin, ini salah satu penyebabnya. Tiga tahun pernikahan, aku belum mampu memberikannya keturunan.

Matanya terbuka. Menatapku dengan tatapan polos menggemaskan. Senyumnya manis dan mampu menghangatkan hatiku seketika. Saat itulah, aku jatuh hati padanya. Aku ingin selalu mendekapnya. Ingin selalu melindunginya.

"Aku akan menjadi Ibunya. Akan kuberi nama, Ruby."

Back.

"Apakah Bunda membenci Ayah?"

Mendengar pertanyaan Fatah, aku terkekeh. "Tidak, Fatah. Sejak dia berikrar dihadapan Allah, sejak itu pula Bunda bersedia berbakti seutuhnya pada Ayah Ruby. Bunda akui, perlu waktu untuk memupuk rasa percaya. Dan pada akhirnya, kami bisa bersama selamanya."

Fatah mendesah lemah. "Mengapa Bunda bisa seikhlas itu? Bukankah kesalahan paling fatal adalah pengkhianatan?"

"Benar." Aku mengangguk setuju. "kesalahan paling fatal adalah pengkhianatan. Bagi Bunda, pengkhianatan yang dimaksud bukan hanya  mengkhianati pernikahan, ataupun hati. Melainkan, mengkhianati Allah pun termasuk didalamnya. Fatah. Bunda mencintainya, karena dia mencintai rabnya. Selagi dia masih beriman, selama itu pula kesalahannya akan selalu Bunda maafkan."

Dengan ujung mata, kulihat Sasa menyeka air matanya. Aku menarik nafas beberapa saat. Saat itu, Sasalah yang mampu menjadi penopang, dan penyemangatku. Dialah yang menyaksikan perjuanganku.

"Ruby terlahir dengan pernikahan sah, Fatah. Bunda selalu meyakini, mereka tidak berzina. Ayah dan Ibu Ruby orang-orang baik."

Fatah mengangguk. "Fatah percaya." Dia diam sejenak. "tapi, mengapa Bunda tidak memberi tahu Ruby sejak dulu?"

"Bunda...." Aku tersekat. Menarik nafas panjang sesaat. "Bunda ingin, Ruby selalu menganggap Bunda adalah Ibu kandungnya, Fatah. Egois? Benar. Jika menyangkut Ruby, Bunda selalu siap melakukan apa saja."

Fatah ikut menghela nafas. "Boleh Fatah meminta Ruby datang?"

Aku tertawa. "Tidak perlu diminta, Fatah. Jika sudah saatnya, Ruby akan datang."

* * *

Pagi itu. Dalam kondisiku yang semakin melemah.

Sasa tergopoh-gopoh melangkah menuju pintu, bel berbunyi tak henti-henti sejak tadi. Satu bulan setelah aku terbaring sakit, Sasalah yang menemaniku dirumah ini.

Aku yang semakin melemah hanya mampu memperhatikan dalam diam.

Beberapa waktu berselang, Rubyku, gadis manisku itu datang setengah berlari.

"Bunda jahat!!!" teriaknya, sesaat setelah berdiri disamping tempat tidurku.

"Mengapa Bunda selalu Tidak jujur?"

Aku mengedipkan mata. Apa yang sedang Ruby permasalahkan?

"Ru! Apa yang kamu lakukan?" Sasa menyela setengah membentak.

"Tante juga." Ruby menatap Sasa marah. "mengapa tidak bilang jika Bundaku sakit?" Air mata Ruby merebak. Berjatuhan menyusuri pipi putihnya. Tanpa aba-aba, dia menghambur memelukku. Isaknya mengeras. Air matanya menderas. Dia tersedu.

"Maafkan Ruby, Bunda. Biasanya, Ruby yang merawat jika Bunda tengahsakit. Maaf, Bunda. Maaf."

Meski lemah, aku mengangkat tangan untuk balas mendekapnya. Aku diam. Sudah tak mampu berucap sepatah katapun. Bagiku, keberadaannya saat ini sudah lebih dari cukup.

"Ruby juga minta maaf. Ruby sudah berani membentak Bunda, bahkan pergi meninggalkan Bunda sendiri."

Aku mengukir senyum. Lembut, kutatap wajah manis yang sekarang tirus.

"Bukannya Bunda yang harus minta maaf?" Aku berkata lembut. "Bunda seharusnya berterus terang dari lama."

"Tidak, Bunda. Tidak perlu dibahas lagi. Tidak peduli siapa yang melahirkan Ruby, tidak peduli siapa Ibu kandung Ruby sesungguhnya, Bunda tetaplah Bunda Ruby. Bunda yang merawat Ruby sejak kecil, Bunda yang mendidik Ruby, Bunda berperan besar hingga Ruby sampai disini."

Aku tersenyum semakin lebar. Ya Allah. Aku siap jika engkau hendak mencabut nyawaku sekarang.

"Ruby selalu sayang Bunda. Selalu. Bunda harus sembuh secepatnya."

"Bunda, juga. Maafkan Bunda, Ru."

Ruby menggeleng pelan. "Ruby selalu memaafkan Bunda. Sama seperti Bunda, yang memaafkan kesalahan Ruby berkali-kali."

Ah. Sekarang aku lega. Gadisku itu benar-benar sudah dewasa.

Di ujung kakiku, entah halusi nasi atau bukan, kulihat suamiku berdiri berselubung cahaya. Senyumnya terukir manis. Allah. Inikah saatnya?

"B—Bunda, harus, pergi." Aku berucap susah payah.

Suamiku itu melambaikan tangan. Matanya berkilat lembut nan menenangkan. Aku sudah tak mampu merasakan keberadaan kakiku. Dan semakin lama, aku semakin tak mampu merasakan setengah dari tubuhku.

"Tidak, tidak boleh! Bunda tidak boleh pergi kemana-mana!"

Ah, sayangku. Jika ingin mengikuti kehendak, aku tak ingin meninggalkannya secepat ini. Aku ingin menyaksikannya menikah, hingga memiliki anak kelak. Namun, apalah daya. Kematian bukan sesuatu yang bisa dikendalikan.

Sakit ini begitu tak terperi. Tak ada ibarat yang mampu mendeskripsikan rasa sakitnya. Tak lama memang. Namun, rasanya aku ingin menjerit sekuat-kuatnya, tatkala sesuatu dari tubuhku perlahan diambil. Aku menangis tanpa suara. Sedang sosok yang kukira suamiku itu melebarkan senyum. Tangannya terrentang. Sudah saatnya aku meninggalkan semua kefanaan ini.

"Bunda! Bunda! Bunda jangan pergi!" Anak gadisku berseru pedih. Sedang aku, sudah tak mampu menenangkannya lagi. Sudah tak mampu melipurnya lagi.

Maafkan Bundamu, Ruby. Tapi, sudah terlambat. Aku serasa melayang-layang. Tubuhku terasa ringan. Grafitasi sudah tak mempengaruhi tubuhku. Suamiku mendekat. Mendekapku ringan.

"Terima kasih untuk cinta dan kasih sayangmu, Istriku. Mari. Ruby kita akan membaik seiring waktu berganti."

Aku mampu menyaksikan segalanya dengan lebih jelas. Tubuhku yang terbujur kaku dalam rengkuhan Ruby. Gadisku menangis hebat. Disampingnya, Sasa menangis tanpa suara. Satu tangannya mengelus rambut Ruby lembut.

Ah, Rubyku. Betapa Bunda ingin menghapus air matamu saat ini. Namun, keberadaan Sasa disampingnya, cukup membuatku tenang. Sasa akan sanggup mengobati luka Ruby.

Suamiku menggenggam tanganku. "Mari, Kartika. Sudah saatnya kita meninggalkan dunia fana ini."

Aku mengangguk, sembari membalas genggamannya. Sebelum aku benar-benar pergi, kutatap Ruby sekali lagi. Sasa ada disisinya, berucap kata-kata penghiburan ditelinganya. Selamat tinggal, Ruby. Semoga kita akan kembali berjumpa, kembali bersama, ditempat yang tidak ada kata perpisahan didalamnya.

The end.hadi edukasi official